Jumat, 18 Oktober 2013

GELAP TERANG DIKSI BENTUK RUANG


Tulisan : Angga Wiradiputra
Foto : Feri Setiawan

Aku  adalah yang meredakan lelah ketika dia ingin terlelap dalam gelap. Sinar yang benderang adalah yang membutakan mata. Maka dari itu mata hatinya gelap olehnya. Kontradiksi analogi gelap terang dalam balutan nurani yang terkotori cahaya dalam warna-warni pelangi. Warna warni yang tak terlihat ketika gelap. Karena itulah mungkin dia berpikir jika aku tak berwarna. Gradasi setelah senja seakan tak begitu indah untuk disaksikan pasang mata yang memandang.

Ini kesekian kalinya sejak ditasbihkannya aku dalam artian tak kasat mata. Sebentuk wujud yang tak terlukis karena terkikis teori bentuk. Isi ruang ilusi tak seharusnya simetris dan bergaris. Sejauh apapun aku berasumsi tentang ini, nyatanya aku adalah gelap yang sering dikeluhkannya. Dikalahkan cahaya yang membutakan mata. Namun jika saja sebelah matanya bisa merasakan, maka dia akan mengerti jika gelap adalah teman setia, peneduh setelah terik yang dibuat oleh cahaya. Sampai ini hampir menuju titik, dia masih mengeluh akan gelap. Aku ada, raba saja, dan rasakan seperti apa. Gelap itu bukan sebuah diksi kebanyakan yang bisa dialibikan dengan kata ganti kosong. Karena kosong itu berarti tak ada. Sesuatu yang tak ada tak akan bisa dirasakan, dan tentunya kau tahu itu. Tapi ini bisa terasak kan? Apa masih bisa kau sangkal jika aku tak ada?

Dalam artian sebenarnya gelap bukan berarti tak ada cahaya, namun kurang cahaya. Pun begitu sunyi yang masih bisa kau dengar bisikannya. Ketika dalam balutan luka pun selalu ada senyum setelahnya. Maka seharusnya kau mengartikan aku sebagai sebuah penawar dari kelelahan mata terhadap cahaya, dalam artian setelahnya. Setelah kau lelah dan ingin berdenting dalam hening. Lain lagi dengan artian sebelumnya. Sebelum kau sampai pada titik lelah, terjebak dalam keramaian bersama cahaya dan kebisingan, kau teriak sekencang apapun tak akan terdengar berdenting. Terlalu banyak yang berkata nyaring, sehingga kau butuh hening untuk bergumam dan berbisik lirih.

Jadi masih mau menyalakan lampu?

Padahal jelas lampu adalah hasil rekayasa cahaya. Untuk sesuatu yang palsu saja kau bergantung padanya. Maka apa yang nyata, jika nyatanya sebuah replika rekayasa cahaya saja kau anggap nyata. Gelap terang dalam sebuah seri cerita bergambar setiap harinya. Coba terpejam. Apa yang kau lihat? Utopia kah? Artefak diri kah? Atau sebuah cerita sebelum dan sesudahnya?

Itu mimpi ya? Kau bertanya

Iya. Gerbang menuju kesana kan melalui gelap. Maka masih mau menyalakan lampu? jawabku, yang tentunya tidak dalam bentuk sebuah dialog antara aku dan dia.

___________________________

Angga Wiradiputra | @nadapena
Feri Setiawan | @feri_stwn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar